Corat Coret

Just corat-coret... Take it easy. I'm not teaching, but I'm just learning.

Friday, November 24, 2006

Ikhlas

Ikhlas. Kata yang gampang sekali untuk dituturkan namun berat sekali pelaksanaannya. Saya pun tersadar akan beratnya bobot makna kata ini saat mengikuti kajian Ramadhan kemarin. Saat itu nurani saya berkali-kali disentil dan disindir sehingga membuat saya merasa berada di titik kualitas rohani yang rendah.

Posting ini sekedar mengulangi apa yang saya ingat tentang kajian yang disampaikan oleh sang ustadz (semoga rahmat Allah atas beliau) yang menyampaikan dengan penuh senyum tapi lugas.

Singkat saja. Ikhlas yang dimaksud adalah niat yang benar-benar murni untuk mencari ridho Allah semata. Ikhlas menjadi pondasi kita dalam beribadah. Bahkan dalam kalangan sufi keutamaan pelaksanaan ritual ibadah tingkatannya berada di bawah ikhlas. Kualitas ibadah bergantung dari keikhlasan kita. Kesimpulan itu bisa didapatkan dari berbagai riwayat hadist dimana rasulullah mengungkapkan kepada sahabat jika ingin beribadah, tirulah si fulan yang notabene ritual ibadahnya terlihat biasa. Tetapi rasulullah diberikan kelebihan dari Allah untuk mengetahui isi hati seseorang sehingga bisa menilai kekhusyukan ibadahnya.

Keikhlasan yang murni hanya dapat dicapai dengan pelatihan rohani terus menerus tanpa henti. Tak banyak manusia yang bisa menggapainya. Bila seseorang sudah mencapai tahap tertinggi, dia akan menjadi zuhud dan "cuek" terhadap pandangan dunia yang senantiasa menggodanya. Keberaniannya otomatis akan berada di tingkat tertinggi juga, karena yang dia takutkan hanyalah Allah semata. Hal ini yang membuat saya mafhum, betapapun para nabi, pengikut setia dan alim ulama dicaci-maki, disiksa hingga dibunuh mereka tetap teguh pada pendiriannya karena memang tindak tanduk mereka dan segala ibadahnya semuanya berlandaskan pada keikhlasan yang tinggi. Keikhlasan yang murni itulah yang membuat segala perkataan dan tindak tanduk mereka selalu dipenuhi hikmah yang berguna untuk orang lain.

Jika kita berdakwah dan beribadah berlandaskan pada keikhlasan dan sesuai dengan syar'i, tentu saja kita tak peduli reaksi sekeliling kita. Tak peduli kita akan menjadi bahan gunjingan dan cemoohan. Tak peduli kita akan dilihat sebagai "anak baik" oleh orang lain. Yang penting ikhlas.

Lawan dari ikhlas adalah riya. Saat kita menjalankan ibadah karena ingin dipuji sebagai orang baik, itulah riya. Saat kita menjalankan ibadah ingin meredam prasangka dari orang lain, itulah riya. Saat kita beribadah sembunyi-sembunyi untuk menghindari prasangka orang pun akan menjadi riya. Saat kita beribadah karena dipaksa dan diperintah oleh orang lain, itu juga riya. Saat berdakwah karena ingin mengukur tingkat kedalaman ilmu kita, itu juga riya dan banyak manusia yang tergelincir disini. Marah karena ikhlas jauh lebih baik dibanding dengan bersabar karena riya, karena marah karena ikhlas tak akan menyimpan dendam dan menunjukkan besar kasih sayang karena khawatir dengan kondisi orang lain tak berjalan dalam batas agama.

Itulah wejangan sang ustadz yang dapat saya ingat. Menyesal juga kemarin tak membawa alat tulis. Dan sang ustadz terlihat ikhlas dalam menyampaikan wejangan ini (insya Allah). Tergambar jelas dari sinar wajah, senyuman dan sikap yang cuek dari beliau. Tak dia pedulikan para jama'ah yang berada di depan matanya mendengarkan sambil duduk, sambil tiduran dan mengobrol dengan yang lain.

Ending film "Kiamat Sudah Dekat" arahan Deddy Mizwar saya rasakan mampu menggambarkan arti keikhlasan itu secara sederhana dan gampang diterima. Dan bahasan KH Muzadi di sini menjadi bacaan yang menarik juga.

Semoga saya juga ikhlas dalam mem-posting tulisan ini dan yang membacanya (jika ada) juga ikhlas menerima segala kekurangan tulisan ini.

Wassalam

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

/body>