Corat Coret

Just corat-coret... Take it easy. I'm not teaching, but I'm just learning.

Friday, April 28, 2006

A Little Bit About "Sticky Bit"

Walaupun banyak yang telah mengenal Linux ataupun Unix dan sekuriti file systemnya, ternyata masih ada yang belum mengenal "sticky bit". Saya memposting artikel sticky bit ini setelah beberapa waktu lalu rekan saya menanyakan:

"bagaimana menjaga file atau folder milik user1 agar tidak terhapus oleh user2. Namun user2 sendiri masih memiliki hak untuk dapat melihat file user1 dan membuat file baru di folder yang sama"

Sebenarnya ada dua opsi untuk memecahkan masalah tersebut:
  • Gunakan jfs acl
  • Define sticky bit
Dan untuk menjawab permasalahan diatas, gunakan saja sticky bit. Modul JFS ACL cocok digunakan untuk mendefinisikan sekuritas level akses yang lebih kompleks. Kalau ada waktu nanti akan coba saya posting artikelnya di blog ini.

Kembali ke sticky bit. Dengan sticky bit, administrator dapat membuat satu direktori khusus yang mengizinkan semua user untuk dapat membuat file dalam direktori tersebut, namun user tidak dapat menghapus file milik user lainnya. Ada batasan dalam implementasi sticky bit:
  • user dengan akses root dapat menghapus semua file, termasuk file yang ada didalam direktori "sticky bit"
  • owner dari direktori "sticky bit" dapat menghapus semua file yang ada dalam direktori tersebut. Bila anda sebagai administrator tidak menghendaki sekuriti seperti ini, segera set owner direktori tersebut menjadi "root"
Setting sticky bit
Untuk membuat satu direktori menjadi mode sticky bit, gunakan perintah chmod. Contoh:

# chmod 1777 /tmp Dengan mode numerik
# chmod o+t /tmp Dengan symbol "t"

Setelah perintah diatas digunakan, segera cek dengan perintah ll:

# ll -d /tmp
drwxrwxrwt 3 root sys 96 Apr 1 13:40 /tmp

Terlihat, simbol sticky bit (t) sudah tercantum dalam level akses sekuriti direktori /tmp.
Gampang sekali kan???

Gunakan sticky bit dalam temporary directory, karena biasanya dalam menjalankan beberapa proses, OS dan beberapa file aplikasi menggunakan direktori ini untuk membentuk file-file sementara. Dengan sticky bit, proses dengan owner yang berbeda terhindar dari konflik saling menimpa atau menggunakan file yang sama.

Semoga berguna

Wassalam

Wednesday, April 26, 2006

Ah, Warcraft ku.

Setiap orang punya game favorit dan kenangan yang berbeda pula dibalik permainan satu game. Begitu pula saya. Game favorit saya adalah Heroes of Might and Magic. Saya sudah memainkannya mulai dari versi awal hingga versi IV. Tapi, saya memainkannya tanpa kenangan yang berarti. Game yang cukup memberikan kenangan indah bagi saya adalah Warcraft, khususnya Warcraft I & II.

Ada apa dengan Warcraft? Saya telah memainkan Warcraft I saat masih kuliah. Alur cerita dan speed gamenya berjalan lamban karena mungkin memang di set demikian rupa. Tidak ada grouping unit, yang ada hanya satu unit mengekor unit lainnya seperti bebek. Di Warcraft II, perubahan drastis terjadi. Desain gameboard menjadi sangat manis. Walaupun sebenarnya berdimensi 2D, namun para art desainer Blizzard mampu menghadirkan nuansa 3D. Feature bertambah banyak misalnya unit grouping dan beberapa shortcut. Alur cerita menjadi dinamis dan enak untuk diikuti, ditambah lagi dengan beberapa add-ons. Wajar jika pada tahun itu, Warcraft II mendapatkan award untuk kategori Best Game, dan game-board desainnya banyak ditiru oleh game-game lainnya.

Tapi, bukan hal diatas yang membuat game ini menjadi kenangan terindah buat saya. Ada cerita disaat memainkan game tersebut. Demi game tersebut, saya dan teman-teman kos saya berinisiatif untuk memasang jalur LAN antar kamar. Waktu itu benar-benar modal nekat. Tak punya pengetahuan dan pengalaman hanya dengan bertanya ke kiri dan kanan. Jenis sambungan yang terjangkau oleh kantong mahasiswa pada waktu itu adalah BNC yang saat ini susah sekali ditemukan. Masih hangat dalam kenangan saya, saat salah satu teman saya memasang kabel tersebut ke ethernet card, saya melihat gerakan rambut belakangnya menyentak beberapa kali karena tersetrum. Juga, saat teman saya yang lainnya membawa card 3Com yang diembat dari kantor kakaknya. Biarpun 3Com, tapi koneksinya terganggu terus makanya selalu kami caci maki karena kami berasumsi card mewah tersebut tidak kompatibel dengan NE2000 murahan milik kami.

Mungkin pada saat itu satu-satunya rumah kos yang tersambung jaringan antar kamar adalah rumah kos kami. Jangankan rumah kos, rental komputer saat itu pun masih belum memakai jaringan. Akhirnya, kami pun mengenal protokol NetBeUI (sekarang pun protokol ini sudah dihilangkan Microsoft) sebelum berpindah ke protokol IP/IPX saat kemunculan Windows 95. Saya ingat sekali saat kami menge-set IRQ dan DMA di Windows 3.11 sampai hampir putus asa karena tidak jua berhasil. Sejak jaringan sudah terinstalasi dengan baik, kami pun selalu kompak dalam membeli game. Pokoknya game yang harus dibeli adalah game yang mendukung LAN. Jadilah, berturut-turut terbeli Warcraft II, Starfcraft, Diablo dll yang membawa kami mengenal Windows 95.

Dan kenangan bertambah indah saat game tersebut dimainkan bersama-sama dalam satu jaringan. Saling bantu, saling serang, saling jegal, saling caci maki membuat cerita bertambah seru. Ada yang jago bertahan dengan membangun banyak benteng, ada yang jago menyerang, ada yang jago strategi dan ada juga yang jago mengacau. Asyik memang. Bahkan, salah satu teman kuliah saya ada yang sampai lemas lalu jatuh dari kursi dan hampir pingsan dengan hidung berdarah karena semalaman suntuk tidak tidur dan tidak makan karena terlalu masyuk dengan situasi ini.

Semua kenangan tersebut tidak saya dapatkan saat memainkan Warcraft III. Disamping sekuelnya yang terkesan "biasa", juga terasa hambar karena saya memainkan sendirian. Dan pasti, saya tak bisa berharap banyak kepada para tetangga di rumah atau rekan di kantor untuk dapat bersama-sama memainkan game ini dalam satu jaringan.

Saat ini, gairah memainkan game-game sejenis sudah sirna karena kesibukan kantor dan keluarga. Ada salah satu teman saya di era lalu itu yang sampai saat ini tetap rajin memainkan RPG, tapi kebanyakan dari mereka saya rasa sudah tidak menyentuh game sejenis lagi.

Ah warcraft, kenangan yang indah...

Wassalam

Tuesday, April 25, 2006

Oracle dan Opensource

Larry Ellison, CEO Oracle menyatakan rencana besar perusahaan yang dipimpinnya untuk membangun satu distro Linux tersendiri. Bagi saya, ini adalah rencana strategis yang cerdas. Oracle telah menjadi raja di sektor RDBMS, menjadi kompetitor utama SAP di sektor ERP dan memiliki pelbagai produk software development. Hampir keseluruhan produk-produk tersebut mampu berjalan di multi-platform. Jenis produk strategis yang belum dimiliki Oracle adalah Operating System. Pendekatan yang terbalik jika bandingkan dengan Microsoft yang memiliki OS terlebih dahulu baru kemudian merambah ke segala sektor.
Dengan brand image Oracle, tentunya kita berharap banyak pada produk OS yang akan dihasilkan nanti. Mungkin tidak bisa langsung setenar MS-Windows ataupun OS-X, namun dengan komitmen kuat Oracle yang sampai saat ini mendukung opensource dan dengan dana yang melimpah, tentunya akan banyak hal positif yang akan dirasakan dunia opensource, terutama dalam pengembangan atau penemuan teknik dan algoritma baru. Atau bahkan dengan keunggulan image dan penguasaan pasar, Oracle mampu mempengaruhi publik dengan menciptakan trend IT. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Sun dengan produk NFS, NIS dan Java.
Saya yakin dengan sinergi yang terbentuk dari komunitas opensource dan kontributor utama lainnya seperti Novell, RedHat, Sun dan Oracle, akan mampu menghasilkan produk-produk berkualitas yang tidak kalah dibandingkan dengan produk proprietary dan tentunya dengan harga yang sangat-sangat terjangkau.
Semoga saja kedepannya (tapi saya rasa sulit terjadi karena prinsip GPL) perusahaan yang gemar "mengakuisisi" ini tidak "memaksa" end-user untuk menggunakan produk OS milik Oracle dengan menggembar-gemborkan alasan kompabilitas dalam jajaran produk milik mereka.

Wassalam

Monday, April 24, 2006

HMail, opensource hanya untuk Windows.

Tadi pagi, barusan saja rekan kerja saya di sister company (perusahaan sekandung gitu) datang ke meja saya dan ngobrol ngolor ngidul. Dalam obrolan itu, tersebutlah satu nama proyek opensource email server, HMail (doi ngebacanya hamil). Saya belum sempat jajal nih software, namun bila dilihat sepintas fitur yang tersedia standard saja, seperti support protokol POP3, SMTP, IMAP, virtual domain, routing, mirroring, dll, tak terlihat nilai lebihnya secara fungsionalitas. Nilai komparatif yang patut ditonjolkan adalah opensource ini "dedicated for Windows" dengan keunggulan konfigurasi dan manajemen yang mudah ala Windows pula. Tidak tersedia sama sekali versi untuk platform Linux, padahal dalam asumsi banyak orang, "if you're talking about opensource, Linux is always there".

Kelihatannya, software besutan Novell ini membidik ruang alternatif MTA (Mail Transfer Agent) di Windows yang selama ini secara de facto dijajah oleh Exchange yang mungkin sudah terlalu gemuk untuk sekedar menangani email. Di posting sebelumnya saya menyinggung masalah TCO, software ini sangat bagus menjadi alternatif Exchange untuk menekan TCO di satu organisasi.

Saya belum bisa menilai lebih jauh jeroan-jeroannya HMail untuk saat ini, mungkin itu untuk jatah posting berikutnya.

Wassalam

Tuesday, April 18, 2006

TCO, Linux dan Windows

TCO (Total Cost of Ownership; bukan VCO yang lagi tenar itu) merupakan total biaya yang dikeluarkan untuk satu implementasi. Menarik untuk diikuti perkembangan dari Windows dan Linux. Banyak referensi-referensi yang membingungkan konsumen, sebenarnya TCO yang manakah yang paling menguntungkan. Ada beberapa saran yang mungkin dapat diterapkan agar dapat menyaring informasi dengan benar:

  • Selidiki konsultan yang membuat penelitan tersebut apakah independen atau tidak.

  • Cermati informasi, terkadang informasi yang dibeberkan merupakan permainan kata-kata ala marketing

  • Lihat variabel-variabel dan data penunjang. Hati-hati dengan data-data yang berdasarkan asumsi semata. Sering saya perhatikan, biaya peralihan dalam bentuk training dicantumkan dengan nilai yang tak masuk akal. Pada kenyataannya, seorang admin yang telah terbiasa dengan POSIX OS (eg: Unix) sebelumnya, sering tidak membutuhkan training sama sekali untuk migrasi ke Linux.

  • Yang terpenting sesuaikan dengan kebutuhan organisasi anda, hitung dengan benar biaya-biaya yang akan dikeluarkan sesuai fokus implementasi IT. Sebagai contoh, untuk mendeploy satu email server, Windows membutuhkan Exchange dengan jumlah user terbatas sedangkan Linux membutuhkan postfix atau qmail dengan unlimited user.

  • Dan jangan lupa hitung juga nilai kualitatifnya, misalkan kemudahan managemen user, security dan interopability. Bisa saja perhitungan finalnya free software tidak lebih murah dibanding dengan proprietary software


  • Ide saya habis, mudah-mudahan berguna.

    Wassalam

    Nostalgia, Andai ini dan andai itu

    Buat yang seangkatan saya, mungkin sempat merasakan nikmatnya bersabar dengan komputer XT 8088. Pada masa kejayaan DOS dan game Digger itu, jiwa dan raga masih muda, bergairah tinggi untuk mengecap ini dan itu. Hasilnya GW-Basic pun terkuasai dengan nilai plus. Beberapa tahun setelah itu, karena rangsangan ingin tenar dan nge-trend, QuickBasic dan Pascal+OOP pun berhasil dikuasai pula ditambah dengan sedikit kemampuan Assembly. Yang dapat dikenang pada masa-masa itu, sebagai hobyist saya ternyata cukup produktif menghasilkan software dan library kecil serta beberapa game sederhana.

    Anehnya, seiring dengan waktu berjalan, OS berganti dan versi baru language bermunculan, produktivitas malah menurun secara drastis. Padahal, language-language baru tersebut dirancang sedemikian rupa untuk rapid development katanya. Jujur saja, ada sesuatu yang aneh saya rasakan saat melihat dan menjajal language-language yang dilengkapi dengan IDE komplit dengan pendekatan visual tersebut. Ada perasaan yang menyepelekan hasil yang akan didapat. It's too easy (mungkin saja perasaan itu muncul karena latar belakang pekerjaan saya bukanlah seorang programmer). Bayangkan saja, dulu untuk membuat satu form plus shadow (versi DOS tentunya) dengan text mode, dilengkapi dengan interactive field (textbox) dan button yang reaktif terhadap klik mouse dibutuhkan beratus-ratus baris kode. Belum lagi jika ditambah dengan fasilitas scrolling screen yang membutuhkan assembly code disitu. Di Visual Basic atau Delphi, semua masalah itu bisa diselesaikan tanpa coding sedikitpun dalam waktu tidak sampai 5 menit saja. Untuk orang yang membangun software dengan visual programming, mungkin sebutan programmer sudah tidak cocok lagi karena banyaknya component yang benar-benar siap pakai sehingga fokusnya lebih condong ke component arranger. Nama yang tepat mungkin comprogrammer. (he he he, bisa-bisa gue aja).

    Di tengah-tengah kemandulan dan keengganan saya dengan visual programming, baru-baru ini saya menemukan language baru karya cipta wong Kanada yang menarik untuk dicoba, Euphoria. Interpreter ini benar-benar murni line programming. Belakangan, beberapa volunteer yang dipelopori David Cunny berhasil membangun satu library ditambah lagi dengan Judith yang membuat IDE ala visual programming sehingga language ini makin menarik buat saya, karena kode library dan IDE tersebut terbuka serta traceable sehingga enak untuk dipelajari. Banyak hal menarik dari Euphoria, diantaranya:
    - Programmer tak perlu pusing lagi dengan yang namanya memory allocation.
    - Statement dan fungsi jauh lebih sedikit dibanding dengan language lain.
    - Cepat dan stabil. Belasan kali dibandingkan dengan PERL dan Python.
    - Tipe variabel atom dan sequence yang powerfull dengan range value yang luas. Untuk atom mulai dari 10 pangkat -300 sampai dengan 10 pangkat 300.
    - Multiplatform. DOS, Windows dan Linux/BSD.
    - Ada fasilitas konversi ke executable file.
    - masih banyak lagi yang lainnya

    Cukup mumpuni memang, setelah belajar dan mencoba beberapa hari belakangan ini, gairah yang sempat hilang perlahan mulai muncul lagi. Tapi untuk seproduktif dulu lagi??? Ya enggak janji.

    Disamping Euphoria, adalagi Qu programming. Sangat membanggakan, ini adalah hasil oprekan anak Indo Raya. Ini adalah software turunan dari Python. Run-timenya termasuk mengagumkan, mampu mengalahkan Euphoria. Sayangnya, saat ini Qu hanya berjalan di platform Linux dan benar-benar merupakan intrepreter murni karena belum tersedia tools kompilasinya. Biarpun begitu, mas Marc Krisnanto sudah memulai sesuatu yang bagus. Kita juga bisa memberikan kontribusi jika mampu.

    Sayang saya tidak mumpuni di C language. Seandainya saja bisa, saya pasti mampu memberikan sesuatu untuk proyek Qu ini, karena setidaknya saya pernah mendesain dan membuat intrepreter sederhana untuk penulisan ilmiah saya kemarin yang sayangnya dibangun dengan Turbo Pascal. Seandainya saja kemarin saya tidak bermalas-malasan untuk memulai belajar bahasa C ini, mungkin saja saya bisa membuat Qu bisa berjalan di atas platform Windows. Andai saja ini andai saja itu. Berandai-andai terus. Tapi tak mengapa, toh Harry Potter dan Star Trek dibuat dengan berandai-andai yang ujung-ujungnya menghasilkan uang melimpah untuk sang pengkhayal.

    Wassalam

    Monday, April 17, 2006

    Menulis dengan beban 1000 ton.

    Terkadang, dalam pikiran sering terbersit sikap meremehkan kegiatan yang satu ini.

    "Ah, apa susahnya menulis sih, paling tinggal ketik yang ada di pikiran langsung beres"

    Namun saat dimulai, tak dinyana menulis itu berat sekali (buat saya) karena ternyata kegiatan tersebut membutuhkan pikiran dan wawasan yang luas yang mungkin hanya bisa didapatkan dengan cara rajin membaca. Tak diragukan lagi, ini kegiatan yang paling jarang saya lakukan selama hidup saya.

    Mungkin saja (mudah-mudahan saya salah) karakter seperti ini terbentuk karena saya hidup di negara yang serba instan. Disini, segalanya memang mudah didapat. Ya segalanya. Karena malas jalan, mau turun dari metromini di tempat terlarang pun bisa selama tak ada petugas. Mau urus SIM bisa instan, ingin pegang ijazah mentereng pun tak perlu bersekolah susah payah lagi, mau gawe tinggal pegang katebelece atau sogok sana sini, sampai-sampai lulusan perhotelan pun bisa bekerja di pabrik. Mau dapet informasi, cukup setel tayangan berita di TV dan biasanya informasi yang mampu dicerna sifatnya temporary belaka. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini akhirnya berimbas sampai membaca buku pun cukup melirik ke kesimpulan akhir. Alhasil, mutu informasi yang didapat pun cuma sekulit ari. Lebih tipis mungkin. Tapi hebatnya, dengan informasi nan secuil itu, sudah berani ngobrol kesana kesini lagaknya seperti ahli. Beraninya hanya ngobrol dan menghindari debat. Karena keenakan dan kebanyakan ngobrol akhirnya ya otot-otot jari tak terlatih untuk merumuskan isi pikiran secara terstruktur. Jari-jari layaknya terbebani dengan berat tak terhitung. Benar-benar tipikal orang Indo Raya.

    Mudah-mudahan orang Indo Raya yang begini cuma saya. Dan akhir kata posting ini saya cuma bisa mengingatkan tanpa bisa berbuat, "PENULIS YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG BAIK PULA!!!"

    Wassalam

    /body>